Perkenalkan
nama saya Meisya Aulyn Putri Hidayat, begitulah papah saya memberikan nama. Namun
menurut kisah yang telah saya dengar oleh orang tua saya, lebih tepatnya mamah
beliau menceritakan bahwa nama awal saya adalah Catherine karena nama tersebut
merupakan nama artis terkenal yang papah saya sukai. Tak hanya sampai situ
pihak mamah pun tidak setuju menyematkan nama tersebut kepada saya dan lebih baik
menggunakan Meisya Aulyn saja, papah kala itu tidak setuju jika hanya terdiri
dua kata suku ia ingin menambahkan kata Putri Hidayat dibelakan nama saya sebagai
nama yang akan saya bawa hingga akhir hayat kelak. Entahlah bisa menjadi
serumit itu, mungkin karena faktor saya adalah anak pertama dan cucu perempuan pertama
dalam keluarga papah. Selang dua tahun setelah kelahiran saya, papah pun berpulang
menemui Rabb nya untuk selamanya mendahului kami semua, masih sangat
membekas di ingatan saya kala itu siang menjelang sore disuatu pemakaman di
daerah Tanggerang saya melihat prosesi penurunan peti jenazah papah saya. Dengan
polosnya anak berumur dua tahun itu digendong oleh bibi nya dan menanyakan “itu
papah mau dibawa kemana?” lalu bibi pun menjawab “itu papah mau berobat, kamu
doain ya” Meisya kecil kala itu pun mempercayai ucapan bibinya. Hingga seiring
berjalan nya waktu dan bertambahnya umur saya menyadari bahwa itulah hari
dimana pertemuan terakhir dengan cinta pertama saya, sebelum kami sekeluarga
memutuskan untuk pindah meninggalkan kota tersebut. Papah saya merupakan orang
sumatera asli yaitu kota yang dijuluki sebagai kota pempek, dan mamah saya lahir
di sumatera dengan keturunan berdarah jawa. Lalu saya lahir dipulau Sumatera
yaitu Lampung pada hari Jum’at tanggal 20 Mei 2005. Sering sekali saya
mendapatkan ucapan seperti “Meisya kamu mukanya jutek sekali” atau “muka kamu tidak
ramah” dan perkataan perkataan lain yang sejenisnya. Jujur saja saya sama sekali
melakukukan itu dengan tidak sengaja atau tanpa sadar. Seperti kata-kata yang beredar
pada masyarakat luas “sudah bawaan pabriknya” jadi tidak ada unsur disengaja. Maka
disinilah sekarang kalian sedang membaca essay yang diketik oleh Meisya diumur
19 tahun nya.
Kehidupan
baru pun beranjak, saya dibesarkan oleh mamah yang sangat baik, mamah yang bisa
menjadi orang tua juga sahabat untuk anaknya, tentunya saya patut bersyukur dan
berterima kasih akan hal itu. Saya duduk di bangku sekolah dasar negeri di kota
Tanggerang, saya teringat sifat tidak patut yang saya miliki kala itu, setiap
hujan tiba lalu jadwal pulang sekolah sudah dekat pasti setiap orang tua akan
menjemput anaknya untuk pulang bersama pulang sekolah, begitu pula yang mamah
saya lakukan beliau menjemput saya. Namun reaksi saya tidak menyukai perbuatan tersebut
karena didalam pikiran saya kala itu, saya sudah menyiapkan barang barang yang
saya butuhkan kala hujan seperti payung ataupun jas hujan yang bisa saya
gunakan disaat hujan tiba sepulang sekolah. Terlebih jas hujan yang saya miliki
baru dan saya menanti nanti untuk menggunakannya, namun apabila saya dijemput
sudah pasti saya tidak bisa menggunakannya dan tertundalah waktu untuk saya
mengenakan jas hujan baru itu. Itulah alasan saya tidak menyukai dijemput untuk
pulang sekolah pada saat hujan. Terlihat lucu namun memang itu kenyataanya.
Tiba
dimana waktu pendaftaran sekolah menengah pertama, teman sekelas saya pada
waktu itu sudah sibuk dengan membicarakan sekolah sekolah favorit nya. Ketika
saya ditanya oleh wali kelas ingin melanjutkan ke SMP apa karena nilai rapot
saya yang cukup untuk masuk ke SMP favorit di kota itu, saya pun memilih untuk
memasuki pesantren berbasis Alqur’an yang tidak ada pelajaran umum didalamnya.
Tentu saja itu bagaikan “Banting Setir” bagi saya karena jenjang sebelumnya
yang sama sekali tidak mempelajari pelajaran agama secara mendalam atau mempelajari
Alqur’an alakadarnya. Saya sungguh menyadari kala itu betapa pentingnya bisa
mengenali dan menjalankan agama yang dianut dengan sungguh sungguh dan sebenar
benarnya, belajar dari sumber yang sudah dipercaya kebenarannya, sehingga
keputusan saya bulat untuk masuk kedalam dunia asrama atau pesantren dengan
segala peraturannya.
Hari
dimana yang saya tunggu tiba, pengumuman lolos atau tidaknya pendaftar
pesantren yang saya ikuti tes nya beberapa waktu lalu. Allhamdulillah terlampir
nama saya didalamnya yang berarti sudah resmilah saya menyandang status santri.
Kehidupan di asrama yang mempunyai banyak teman serta kehidupan yang sangat
teratur sesuai dengan jadwalnya tentu sangat merubah pola piker maupun pola
hidup yang saya miliki sebelumnya. Mulai dari sesederhana merapihkan tempat tidur
sampai tidak ada lipetan di atas sprei nya, melipat baju dengan rapih dan
mengelompokkannya sesuai dengan jenis bajunya, menaruh sandal sehabis digunakan
langsung ketempat rak nya, dan kebiasaan kebiasaan positif lainnya. Berada
dilingkungan yang terbiasa menghafal Alqur’an dan hafalan yang mereka miliki sudah
bisa dibilang sangat luar biasa. Dari situlah jiwa kompetitif saya pun muncul
walaupun sebenarnya ada sedikit rasa tidak percaya diri, di dalam benak saya
tak apa berjuang habis habisan disini, toh yang diperjuangkan sangat bermanfaat
dan semoga bisa menjadi penolong saya di akhirat kelak. Tahun pertama diasrama
berlalu, masuklah di tahun kedua yang biasa disebut dengan tahun tahun rawan
sebagai anak pesantren memiliki perasaan ingin keluar atau pindah sekolah. Hal itu
terjadi pula kepada saya, kegiatan yang terus berulang setiap harinya serta tidak
terhubungnya kami dengan dunia luar sudah pasti kami memiliki rasa jenuh. Melalui
dukugan teman teman yang menguatkan satu sama lain untuk menuntaskan apa yang telah
dimulai menjadi penumbuh semangat untuk kami terus bertahan hingga akhir. Pengalaman
yang tidak akan pernah saya lupakan kehidupan berasrama yang penuh dengan
kebersamaan, kekompakkan, serta perjuangan yang layak untuk diceritakan kepada
khalayak luas. Seperti cinta dan benci, masa-masa itu indah untuk diceritakan, namun
jika untuk mengulangnya saya rasa sudah lebih dari cukup.
Masa
sekolah menegah atas atau biasa disebut SMA, saya memilih untuk masuk ke sekolah
yang memiliki mata pelajaran umum dan juga masih mempelajari pelajaran agama
secara mendalam agar imbang ilmu yang saya miliki dan juga untuk mempersiapkan
jenjang selanjutnya, yaitu kuliah yang sudah pasti membutuhkan ilmu umum. Memilih
untuk sekolah jauh dari orang tua membuat saya jauh lebih mandiri dan membiasakan
diri untuk tidak bergantung kepada orang lain. Di satu sisi sangat melelahkan
namun jika direnungi kembali hal itu menjadi suatu kelebihan untuk diri saya ketika
memasuki gerbang perkuliahan kelak, disaat teman sebaya baru mulai beradaptasi
dengan kondisi tersebut saya sudah terbiasa bersikap mandiri pada tahun tahun
sebelumnya. Semasa duduk di bangku kelas sebelas saya dilantik menjadi anggota
OSIS dalam divisi keamanan itu bukan kali pertama saya menjadi anggota OSIS, Semasa
SMP saya juga bergabung dalam divisi yang sama yaitu divisi keamanan. Lalu kini
tahun terakhir sekolah saya menjadi siswi, sebelum saya akan menyandang status sebagai
mahasiswi. Seperti anak kelas dua belas pada umumnya, dihadapkan pada kebimbangan
memilih jurusan perkuliahan yang akan ditempuh nanti, yang sedari awal memilih
jurusan A bisa dengan tiba-tiba berubah menjadi jurusan lainnya. Tidak heran karena
masa-masa inilah masa dimana anak seumuran kami mencari jati dirinya,
mempertanyakan apa kemampuannya dan berharap langkah yang kami pilih merupakan langkah
yang tepat. Masa-masa memperjuangkan apa yang di cita-citakan selalu menjadi
masa yang terukir dengan pekat didalam ingatan, bagaimana tidak, selalu ada
yang dikorbankan pada masa-masa itu mulai dari pikiran maupun materi. Karena masa
memperjuangkan universitas yang diinginkan itu belum usai, maka kami terkhusunya
saya bisa menerima apabila nanti kenyataan tidak sesuai dengan rencana. Perjuangan
yang telah dilewati tetap pantas untuk dirayakan karena tidak ada usaha yang
sia sia untuk memperjuangkan apa yang diimpikan.
Tidak ada komentar: